Rabu, 15 September 2010

Sudahkah Anda Memaafkan


Cerpen : MAAFKU KARENA DIA
Kirana Kejora
Foto By : stevanus Okky)


By Kirana Kejora
Malam itu, aku menjadi moderator bedah buku antologi puisi seorang aktifis LSM yang kini jadi politisi, dan menjadi penghuni gedung bundar karena terpilih sebagai wakil rakyat dari sebuah partai besar. Bara Garuda, lelaki cerdas yang selalu charming di setiap penampilannya itu, menulis sebuah buku kumpulan puisi yang mengatasnamakan suara rakyat. Baguslah, jika memang itu berangkat dari keprihatinan atas negeri yang dia bela ini. Usai turun dari panggung, aku langsung menghampiri Delima, salah satu wartawati sebuah tabloid infotainment yang ingin menemui Bara karena berita yang muncul dari mantan istri Bara, Regi, seorang model papan atas yang masih terus mencari sensasi untuk mencuri perhatian Bara.
            “Ma, jangan terlalu menyudutkan atau menekan dia. Sepertinya dia tak seburuk itu. Kamu bisa melihat sendiri dari puisi-puisinya. Cintanya buat negeri ini begitu kuat melebihi segala. Jiwa patriotnya sangat besar. Please, aku memberitahumu keberadaan dia di acara ini, semata karena kamu sahabatku. Bukan karena profesimu. Sudah saatnya, teman-teman infotainment arif dalam menjalankan pekerjaannya. Negeri ini sudah bosan dengan segala cerita sampah para selebritis.”
            Lama aku membisiki Delima sebelum dia menghampiri Bara untuk melengkapi beritanya. Kumohon mencari kebenaran, bukan pembenaran tentang gossip Regi yang mengatakan, bahwa Bara memiliki wanita idaman lain, selingkuh, pacaran dengan anak seorang pengusaha besar sebelum menjadi anggota dewan, demi mendapatkan dana kampanye pencalonannya, hingga rela menceraikannya. Ah! Lagi-lagi selingkuh hanya untuk sensasi basi. Tak penting mencari kebenaran atau pembenaran cerita usang begitu, negeri ini sudah eneg, muak dengan sensasi murahan. Regi, mantan model papan atas yang butuh eksistensi diri setelah ketahuan perselingkuhannya dengan seorang sutradara muda yang sedang naik daun. Membosankan, menjengkelkan, itu-itu saja tayangan TV.
            Delima menganggukkan kepalanya pelan, lalu pandangannya mengarah ke Bara. Berjalan pelan menuju lelaki berusia 35 tahun yang sedang berpamitan ke mas Yo sebagai ketua paguyuban Sastra Reboan. Didampingi Akhsan, asisten pribadinya, ia melangkah keluar sebelum mata kami bertatapan. Ia menganggukkan kepala, tersenyum kecil kepadaku. Aku sedikit blingsatan melihat kilatan mata pisaunya. Begitu tajam, namun menyimpan keteduhan. Ah! Kenapa aku jadi terus memikirkan, bahkan sedikit kagum padanya?
            “Ehem! Hemmm!”
            Aku kaget dengan deheman mas Yo yang tiba-tiba sudah berdiri di samping kiriku. Lirikannya mengejekku, sepertinya ia tahu aku baru saja punya kekaguman kecil buat Bara yang selama ini tak pernah kuanggap siapa-siapa. Karena bagiku ia hanya sosok lelaki biasa, salah satu penampil acara kami. No more.
            “Menarik?”
            Mas Yo bertanya nggak jelas dengan nada datar sambil mengepulkan rokoknya dengan santai. Mata kami tertuju di panggung, melihat narsisnya, sahabat kami, Busyet yang menjadi MC abadi Sastra Reboan. Sebuah acara pasar seni yang berlangsung setiap hari Rabu akhir bulan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan.
            “Menarik piye? Apanya? Ah! Biasa saja. Dia hanya lelaki biasa.”
            “Namun bisa jadi luar biasa. Nggak usah bohonglah, mata kamu bicara…”
            Mataku langsung melotot, mendengar ucapan mas Yo barusan. Kalau nggak mengingat banyaknya pengunjung malam itu, sudah ku timpuk punggungnya yang mulai lenyap di telan keriuhan penonton menyaksikan aksi panggung musikalisasi puisi bang Jodhi Yudhono, wartawan yang suka berpuisi dan bermusik. Lumayan bagus karya-karyanya, balada humanis penuh romansa.
Dari sisi kanan panggung kecil itu, aku bergeser, dan duduk di samping mbak Weny yang sibuk mendata buku-buku baru yang baru masuk dan akan ikut dipajang di meja tamu, dan kak Ochi yang sedang menulis berita acara pasar seni rakyat yang akan di unggah malam itu juga di harian on line Budaya Negeri.
            “Nanti jadi sahur bareng kan? Rencana lebaran mudik kapan?”
            Mbak Ilenk, si bendahara paguyuban, berdiri di sampingku, sambil mengambil kotak amal di depanku buat di jalankan, keliling ke semua penonton, mencari sumbangan dana, kerelaan menyisihkan uang buat kas seikhlasnya.
            “Sahur ya deh, ikutan. Hanya mudiknya yang belum tahu.”
            “Kalau jadi H minus 2, bareng aja.”
            Mbak Ilenk, tak menunggu jawabanku, ia terus membaur ke penonton sambil membawa kotak amal buat kelanjutan acara seni murah meriah, namun mahal dari segi apresiasinya itu.
            “Sudah, temui saja dia buat Bintang. Bagaimanapun, kamu harus bunuh egomu sebagai manusia dewasa. Bintang sudah terluka, apakah kamu akan terus membiarkannya sakit? Saranku, penuhi permintaannya. Ia surga bagimu. Bersyukurlah, bidadari mungilmu itu begitu cerdas. Mau menerima keadaan, ia kini mulai menuntut haknya.”
            Kak Ochi menimpali tanya mbak Ilenk. Ia tahu keraguanku pulang Lebaran ini karena aku masih berat untuk menyanggupi permintaan Bintang. Gadis kecil itu merengek, kini ia sudah berusia 8 tahun, namun ia mulai banyak bertanya tentang ketidaknormalan keluarganya. Ia menuntut!
            Suara kecilnya masih terngiang beberapa hari lalu. “Mama Lebaran pulang ke Ngawi, nyekar Mbah Kakung dan Mbah Putri. Tapi mama harus salaman dengan papa dulu.”
            Aku mati kata. Tak sanggup menanggapi pernyataan sekaligus permintaan yang wajib ku penuhi itu. Sebuah permintaan tanpa duga yang begitu sulit untuk aku iyakan. Cukup membuatku kaget dengan tuntutan hakim kecilku itu. Tak mudah untuk kembali bertemu, bertatap pandang, apalagi menjabat tangan lelaki itu. Masih terasa ngilu, luka-luka kemarin. Nanahnya belum begitu kering meski air mata ini telah habis. Wanita memang tempat salah iris, pengiris dosa tragis, tempatnya vonis. Ketidakadilan sering menghampirinya. Entah ini sebuah pembelaan, pembenaran atau protesku akan kandasnya semua yang telah kami bangun selama ini. Pernikahan bagiku hanya sebuah jembatan untuk lahirnya Gerhana dan Bintang. Dua energi terbesarku lima tahun setelah perceraianku dengan Laga. Lagi-lagi perselingkuhan awal dari kehancuran rumah tangga ini. Klise! Namun aku bertekad untuk mengumpulkan kepingannya demi anak-anak titipanNya. Aku seorang ibu yang harus kuat dan wajib menyembuhkan luka psikis dua matahari itu.
            “Maaf bu, tiketnya.”
            Lamunanku menjelang Shubuh di atas kuda besi yang membawaku ke Surabaya itu menjadi buyar karena sapaan ramah si bapak petugas kereta api eksekutif, Argo Anggrek yang meminta, mau memeriksa tiketku. Segera aku rogoh saku tas hijau lumut yang selama ini begitu setia membawa laptop dengan segala tetek bengeknya. Kuberikan tiket yang telah berlubang dua, karena pemeriksaan sebelumnya ke bapak setengah baya yang berseragam rapi itu.
            Pemeriksaan tiket terakhir. Artinya tinggal 2 jam lagi aku sampai ke stasiun Pasar Turi. Sengaja aku tidak memilih naik pesawat, karena aku ingin berlama-lama di jalan, memikirkan apa yang akan terjadi jika permintaan Bintang aku penuhi. Dan memilih H minus 1 karena masih banyak keraguan, kegamangan yang tersimpan. Nampaknya aku kurang mensyukuri segala anugerahNya atas Gerhana dan Bintang yang tumbuh menjadi anak-anak smart, sehat, mandiri, pintar dan bijak menyikapi keadaan. Broken home not broken time! Thanks God!
            Sampai di stasiun, pak Darmin, sopir taxi Gold telah menunggu di pintu keluar. Dengan senyum ramahnya, bapak tua itu menjabat tanganku, lalu buru-buru mengambil alih tas koperku yang sebenarnya tak seberapa besar dan berat. Memasukkan ke bagasi taxi yang telah diparkirnya tepat di depan pintu keluar. Pak Darmin, sopir taxi yang selama ini tahu benar semua kegundahanku, lima tahun meninggalkan Surabaya untuk mengejar obsesi ke Jakarta, menjadikan novelku sebuah film, meski belum juga terwujud hingga kini. Namun aku terus gigih berjuang menjadikan novel Elang menjadi film besar, kelas festival yang bisa mendunia. Terlalu muluk, namun sudah tiba saatnya negeri ini digugah, digugat, diubah dengan karya seni besar agar tak lama-lama tertidur pulas dalam ketidakmakmuran, ketidakadilan, dan kecarutmarutan bangsanya. Ah! Begitu idealis aku dengan semua obsesi karya seni yang sebenarnya jika ku akui, ini adalah sebuah pelarian. Pelarian positif menghidupkan jiwa yang hampir mati karena hancurnya rumah tangga. Kadang aku bertanya, apakah aku punya karya besar dengan harus melewati semua kehancuran pernikahanku? Tanya bodoh yang tak perlu jawaban. Full time writer sudah jadi pilihan. Berkesenian secara independent, idealis sudah jadi pilihan dengan segala resiko. Bicara denganku selalu bicara semangat. Namun kadang aku merasa naïf. Hidupku sendiri tak baik kini. Meski aku tetap ingin dan berusaha menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku. Curhat colongan sering aku lakukan ketika aku dipanggil jadi pembicara acara-acara khusus untuk perempuan. Motivator dari orang seni untuk sesama membangkitkan para perempuan. Selalu kutekankan tag line yang kubawa. Derita adalah sebuah kekuatan, bukan kematian! Menulislah wahai para perempuan, menulis itu obat sakit jiwa!
            Tiba-tiba lamunan dunguku buyar karena mataku menatap seorang gadis kecil telah berdiri di samping kiri taxi, sambil tangannya meremas ujung daster Barbie-nya. Tuhan, Bintang matanya begitu berbinar menatapku, melihatku datang. Segera kubuka pintu, ia langsung memelukku dengan erat, lalu tiba-tiba sesenggukan menangis di pundak kananku. Dia begitu kangen, bodoh sekali aku. Sudah lima bulan tidak menjenguknya karena sok sibuk dengan segala obsesiku di Jakarta. Maafkan mama sayang!
            Tiba saatnya aku harus menyiapkan mental bajaku. Wajah angkuh tak terkalahkan. Ya. Hari itu acara sungkeman ke ibu. Eyang Putri yang selama ini merawat dengan baik Gerhana dan Bintang. Ibu mantan mertua yang begitu dekat denganku. Yang bijak bersikap buat kebaikan dua cucunya. Karena sebelum kami cerai, beliau sudah hidup dengan kami, serumah sejak Bintang bayi. Dua cucu terdekatnya adalah anak-anak. Hingga kami cerai, jalan terbaik menurut beliau adalah anak-anak hidup bersama beliau buat keadilan. Buat perbaikan psikis anak-anak. Karena setelah cerai aku tak pernah mau bertemu dengan Laga, anak lelakinya yang telah menyakitiku dengan perselingkuhannya. Tanpa menerima sedikitpun alasannya, aku segera gugat cerai begitu tahu fakta hubungan bisnisnya dengan Wilda, teman SMU-nya yang memang telah lama mengincarnya, menjadi hubungan layaknya suami istri. Harga diriku terinjak, hancur dan rasa tubuh ini menjadi sampah yang siap dibakar dan dihanguskan. Lebih baik aku gugat daripada terhina begini. Saat itu tak ada maaf, tak ada terpikirkan sedikitpun tentang psikis anak-anak. Selain karena banyak obsesi lamaku yang belum terwujud, aku harus ke Jakarta, mengingat Surabaya bagiku masih menjadi nerakanya penulis. Aku nggak bisa berkembang dengan baik di sana dengan bekerja sebagai script writer TV lokal dan freelance writer beberapa media lokal. Meski anak-anak hak asuhnya padaku, namun aku begitu paham perasaan ibu yang akan kehilangan jika anak-anak ku bawa.
            “Kamu belum siap membawa anak-anak. Jakarta masih begitu besar. Hutan belantara yang belum siap anak-anak masuki. Bukannya ibu sok menguasai. Ibu tahu Laga salah. Katakan sekarang ibu ingin merawat anak-anak untuk menebus semua kesalahan Laga.”
            Aneh memang hubungan kami. Mantan mertua dan mantan menantu yang sering terlihat jalan bersama, begitu akrab. Bahkan banyak yang mengira, beliau ibu kandungku. Mengingat ibu dan ayah kandungku telah meninggal. Dan cerai bagi keluarga besar adalah aib keluarga. Laga juga pilihanku sendiri. Pernikahana dini yang sebenarnya dulu belum begitu terrestui.
            Selama lima tahun kututupi kisah laraku dari keluarga besar. Selama  itu pula aku tak pernah pulang setiap kali Lebaran. Dengan berbagai macam alasan yang masuk akal. Mengingat aku seorang penulis, bagiku itu tak sulit untuk berkelit. Karena berkumpul dengan keluarga besar saat Lebaran, reuni keluarga yang sering membosankankan karena yang selama ini ada hanya buat ajang pameran kebesaran. Materi dan jabatan. Meski tak semuanya demikian. Namun perceraian bagiku sudah pukulan telak yang akan mematikanku ketika mereka tahu ini. Lima tahun cukup bagiku untuk menyembunyikan semua. Tiba saatnya aku membuka, jujur bercerita tentang kebodohon pilihan.
            Lewat telepon kepada Om Yos dan Om Jit, adik ibu alm. tersayang yang begitu bisa menerima semua kebohonganku, kejujuran yang wajib kubuka. Karena anak-anak masih tetap harus merasa memiliki keluarga besar. Mereka punya hak untuk mengenal dan berkumpul bersama para sepupu, adik, kakak, tante, om maupun nenek kakek mereka.
            “Silaturahmi itu memperpanjang umur dan menambah rejeki. Jangan pernah kamu memutuskan hubungan anak-anak dengan keluarga besar. Sudah cukup, 5 tahun memendam semua. Ibu pikir ini waktu terbaik buat membuka semua. Salam maaf dari ibu buat seluruh keluarga besar karena ibu tak bisa mendidik Laga menjadi seorang suami yang baik bagimu.” SMS ibu dua minggu yang lalu memberiku kekuatan untuk menghadapi keluarga besar.
            Usai sholat Idul Fitri, semua anak-anak Ibu kumpul lengkap dengan keluarganya. Tiba giliran sungkeman. Dadaku gemetar ingin mengeluarkan racun yang mulai merajami tubuhku, mengingat sekian menit ke depan aku harus penuhi permintaan Bintangku. Tita adik Laga dengan suami dan anaknya selesai sungkeman, lalu menjabat tangan dan memelukku, kami saling memaafkan. Menyusul Dipa dengan istrinya yang sedang hamil tua juga melakukan hal yang sama. Hubunganku dengan semua mantan ipar memang tak berubah, meski semua menyesali keadaan. Namun bagiku pilihanku sudah tak bisa ditawar.
Rasanya pagi itu ingin segera memboyong anak-anak ke Ngawi, sowan keluarga besar, meminta maaf atas segala kebohonganku saat pak Darmin sudah memarkir mobilnya di depan pagar rumah. Setelah semua makan ketupat Lebaran lengkap dengan opor ayamnya. Ku dengar deru kendaraan berhenti di belakang taxi pak Darmin. Degh! Jantung berdegup sangat kencang. Pasti dia dengan Wilda yang telah jadi istrinya lima tahun lalu. Mereka menikah setelah Wilda menangis-nangis di depan Ibu, minta dinikahi Laga setelah tahu surat cerai kami keluar. Dia bilang dia hamil, meski sampai sekarang nyatanya tak ada anak seorangpun lahir dari rahimnya. Yah, orang menanam akan memetik hasilnya, itu saja bathinku saat tahu ternyata demikian liciknya perempuan itu. Meski semua tak terlepas betapa rakusnya lelaki yang tak puas dengan satu perempuan syahnya!
            Mataku beradu pandang dengan Bintang yang sedang kusuapi. Ia lalu melekatkan tangan kanannya ke dadaku. Sembari berbisik dengan mimik kecemasan.
            “Ma, mama nggak papa kan? Mama jangan marah. Papa datang…”
            Tersenyum kecut aku dibuatnya. Lalu dia mengambil piring yang kupegang, menatapku sejenak dan berjalan ke ruang belakang. Bergabung dengan Gerhana dan Rubby sepupunya. Aku begitu salah tingkah. Sialan bathinku. Kenapa aku harus berada pada kondisi yang sangat tidak mengenakkan ini?
            Aku buru-buru masuk kamar, menutup pintu, mengelap keringat yang mengucur dari dahi. Rumah ini memang rumah gono gini, kami masih sama-sama punya hak. Namun atas kesepakatan bersama melalui ibu, rumah ini menjadi milik anak-anak, dan kami sama-sama punya kebebasan untuk menempati dan menemui anak-anak.
Tiba-tiba ada wajah mungil menyembul di balik jendela kaca. Bintang menatapku, matanya mengisyaratkan aku harus segera penuhi janjiku. Segera ku atur nafas panjang, kuhempaskan dalam-dalam. Mata kejora Bintang masih terus menatapku, menekanku untuk segera keluar dari kamar. Lebaran yang sangat berat sayang!
            Segera ku buka kamar dengan memasang wajah angkuhku. Ternyata di ruang tengah hanya tinggal Ibu dan Laga yang duduk berdampingan. Ibu menatapku, Laga menunduk. Aku diam berdiri di depan kamar, bak patung bernyawa yang siap roboh. Ah! Dimana kekuatanku? Aku tak sanggup menatap Laga, malas dan tak penting lagi bagiku.
            “Kalian sudah tua. Lihat anak-anak. Ibu ke belakang dulu.”
            Perempuan separuh baya itu sengaja membuat kami berdua. Terlalu bodoh mungkin jika kalian masih seperti anak-anak. Main kucing-kucingan, tak saling mau tahu karena egois. Mungkin demikian bathin ibu.
            Tiba-tiba Laga berdiri, tanpa basa basi menjabat tangan yang dengan ragu aku sambut, lalu begitu erat memelukku. Menahan tangis, lirih berbisik,”Aku minta maaf…”
            Mata kejora gadis kecil kami begitu berpijar, namun berkaca-kaca melihat peristiwa langka nan aneh itu. Kedua telapak tangannya lekat menyentuh kaca jendela penyekat ruang tengah dan ruang belakang. Ia sengaja melihat, menyatakan kesungguhanku untuk memaafkan papanya, meski ia sendiri tak tahu apa yang telah terjadi diantara kami.
Aku tak bisa menjawab apa-apa. Segera ku lepas pelukannya. Kami sama-sama diam. Aku segera melupakan pelukannya. Permintaan maafnya. Bagiku ini hanya sebuah acara formalitas buat Bintang semata. Memuaskan hatinya, membahagiakannya Lebaran ini.
            “Ma, kenapa tadi mama nggak mencium papa? Kok hanya pelukan?”
            “Hus! Bintang!”
            Gerhana yang biasanya tenang, diam, kalem, tiba-tiba membentak Bintang. Nampaknya ia tahu ibunya tak begitu nyaman dengan pertanyaan adiknya. Pak Darmin yang telah meluncurkan mobil yang kami tumpangi hingga jalan raya Jombang, langsung menghidupkan CD yang kupesan untuk mencerahkan, mencairkan suasana. Lelaki tua itupun sebatang kara, ia tak pernah menikah karena cinta sejatinya hanya buat Suwarti, kekasih hatinya yang telah meninggal tigapuluh tahun yang lalu karena kecelakaan saat mereka akan menghadap orang tua Suwarti, melamarnya. Cintanya begitu kuat kepada perempuannya. Kisah yang begitu langka pak!
            “Ada sajadah panjang terbentang, dari kaki buaian…sampai ke tepi kuburan hamba..kuburan hamba bila mati…”
            Air mata yang lima tahun ini telah mengering, akhirnya meleleh, membuat aliran sungai-sungai kecil di kedua pipi tirusku. Mendengar lagu nan sejuk dari puisi Taufik Ismail yang tersenandung merdu dengan suara Sam Bimbo. Lagu-lagu rohani yang kembali menjadi telaga, menyejukkan hati. Karena bagaimanapun semua kembali kepadaNya. Sang Pemilik Ruh!
            Tiba-tiba ada tangan mungil yang menghapus kedua pipiku. Gerhana, si cool boy, perjaka kecilku yang baru masuk SMU yang begitu mirip wajahnya dengan papanya itu nampak diam, menatap keluar. Mungkin hatinya sedih atau bahagia karena kedua orang tuanya telah saling memaafkan, meski ia tak tahu hati ibunya masih seperti apa kini. Bintang menyandarkan tubuh mungilnya ke dada kiriku, sambil tangannya mengusap air mataku, dan air matanya. Ampunilah kami yang tak pernah bisa mensyukuri segala nikmat dan terlalu sering mengingkari, menyakitiMu.
            “Bentangkan samudera jabat salam. Dan bersama kita berenang dalam kebeninganNya. Minal Aidzin Walfaidzin mohon maaf lahir & bathin”
            Ku baca SMS dari Bara Garuda yang nampaknya mulai ikut menyejukkan telaga hati Lebaran tahun ini. Terima kasih ya Allah. Rahasia apa lagi yang akan Kau beri?
Surabaya, 28072010
Tetap denganMU kepergianku, buat bidadari mungil & pangeran kecil
                       
Dimuat di Majalah Kartini Edisi Lebaran 2277

Cerpen ini menggambarkan keikhlasan mengampuni, sesakit apapun diri kita. Jangan biarkan tembok keangkuhan membatasi pintu maaf. Bayangkan berapa banyak dosa yang telah anda lakukan selama ini, bila saja besok pagi kiamat, apa yang anda persiapkan? Keangkuhan kita, kesombongan kita.


Hari ini kita belajar dari tulisan Kirana Kejora

Memaafkan bukanlah sesuatu yang hina, kendati masih ada embel-embel demi anak, memaafkan  tetap memaafkan. Denga memaafkan orang, berarti kita sudah menyelamatkan satu jiwa baru, yang mungkin selama ini merasa sangat bersalah karena sudah menyakiti hati anda.


Mari kita menjadi jiwa-jiwa pemaaf, jangan tunggu sampai kita terlalu tua, dan mungkin tidak sempat lagi untuk menjadi penyelamat jiwa. Seburuk apapun diri anda, hari ini juga, angkat kaki anda untuk melangkah, berjalanlah kearah orang yang menyakiti anda, katakanlah padanya, "Ya, saya memaafkan anda." Jauh sebelum dia memintanya pada anda.


Jadilah berarti untuk diri sendiri, dan banggakanlah diri anda karena anda pemaaf, dan bukan si keras hati. Seperti Filosofi JADI KOPI Jadilah dinamis, dan menjadikan musuh-musuh kita sebagai bagian dari hidup kita, jadikan mereka harum, jadikan mereka nikmat, jadikan mereka bermakna, dan jadikanlah itu semua karena anda.


Jadi apa yag anda tunggu?


0 komentar:

Posting Komentar

Siguiente Anterior Inicio
 
Make Share With A Cup Of Coffee Template Copy by Blogger Templates | Schatz |MASTER SEO |FREE BLOG TEMPLATES