Jumat, 16 November 2012

Kompetisi Sampai Mati

“Sebelum kita lahir di dunia ini pun, kita sudah berkompetisi dengan ribuan sel sperma lain untuk menjadi seperti sekarang ini.”
Itulah salah satu ungkapan yang disampaikan oleh Debora Amelia Santoso, Vice President of Corporate Communications Bank BNI saat berdiskusi ringan pada sebuah sharing moment di Perpustkaan Departemen Pendidikan Nasional beberapa waktu lalu. Kompetisi merupakan sebuah hal yang menjadi kodrat keberadaan mahluk hidup, bahkan sebelum mahluk hidup itu terlahir di bumi ini. Bagaimana tidak, kita terlahir dengan mengalahkan sel sperma lain guna membuahi sel telur. So, we are the champion.
Hampir semua lini kehidupan kita dipenuhi dengan kompetisi, baik yang kita rasakan secara implisit maupun ekspilisit. Saat kita masih kecil dengan beberapa saudara kandung, kita selalu berebut perhatian atau prioritas orangtua. Entah sadar atau tidak, hal itu terjadi alamiah. Kita ingin mendapat porsi perhatian lebih dibanding saudara kandung lain, kita ingin keinginan kita selalu mendapat persetujuan orang tua.
Beranjak masa sekolah, dimana kita berkompetisi dengan rekan sekelas untuk menjadi yang terbaik. Kalaupun tidak menjadi yang terbaik, setidaknya kita selalu berusaha untuk tidak menjadi yang terburuk di kelas. Kita pasti tidak mau dikenang sebagai orang terbodoh yang selalu mendapat peringkat akhir saat penerimaan nilai hasil belajar mengajar karena hal itu berpotensi besar menjadikan kita tinggal kelas. Setelah lulus sekolah dan kita diharuskan untuk meneruskan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, kita pun berusaha mendapatkan sekolah terbaik. Disitupun terjadi kompetisi perebutan kursi pada sekolah pilihan. Pertarungan dimulai dengan mempertaruhkan nilai yang di dapat di sekolah sebelumnya, hingga ujian masuk yang dihelat oleh sekolah tujuan.
Masuk dunia remaja saat kita sudah mengenal cinta, ternyata kompetisi tak kunjung sirna. Bahkan mungkin lebih kompleks dari apa yang sudah kita rasakan sebelumnya. Saat kita menginginkan seseorang spesial menjadi pacar atau pasangan kita, seringkali kita harus berkompetisi guna mendapatkannya. Beranekaragam cara dan strategi digunakan guna menaklukkan hati lawan jenis yang menjadi incaran. Dari seseorang yang sebelumnya kurang memperhatikan penampilan, kita pun tiba-tiba termotivasi untuk menata diri agar nampak lebih berseri .
Lulus dari perguruan tinggi, keadaan mengharuskan kita guna mencari pekerjaan. Kita berlomba-lomba dan bersaing dengan ribuan lulusan baru lain guna mendapatkannya. Data BPS awal tahun 2012 menunjukkan bahwa angka pengangguran untuk level lulusan perguruan tinggi 10,3 juta jiwa. Hal itu menggambarkan bahwa persaingan guna mendapat pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi juga cukup sengit. Coba tengok ketika ada bursa kerja atau job fair digelar, dipastikan pengunjung berjejalan memenuhi lokasi even. Pun demikian jika sebagian dari kita memilih untuk berwiraswasta. Tantangan persaingan dan kompetisi itu pun tidak bisa dihindari.
Sebuah pepatah mengungkapkan bahwa “succes is journey, not destination”. Mendapat pekerjaan atau berhasil memulai usaha (wiraswasta) ternyata belum menjadikan kehidupan kita tenang. Lagi-lagi kompetisi terjadi dengan wajah yang berbeda-beda untuk setiap pelakunya. Bagaimana kita bisa bekerja lebih baik dan berprestasi, bagaimana departemen atau bagian dimana kita bekerja harus menjadi tauladan bagi bagian lain, bagaimana kita berkontribusi lebih untuk perkembangan perusahaan adalah beberapa hal yang melandasi persaingan atau kompetisi dalam dunia kerja. Hal itu merupakan sebuah keadaan yang positif bagi perkembangan dan pertumbuhan sebuah perusahaan. Namun akan menjadi bumerang jika hal itu terjadi sporadis dan melibatkan kepentingan ego masing-masing pihak yang berkompetisi demi kepentingan pribadi.
Mungkin sebagian dari kita sudah familiar dengan istilah Office Politic atau Politik Kantor. Djajendra, seorang Corporate Motivator menjelaskan bahwa politik kantor adalah bagian dari dari interaksi manusia yang diperlukan agar perusahaan dapat berjalan sesuai dengan strategi yang diinginkan. Sebuah definisi normatif yang menggambarkan politik kantor adalah hal yang wajar dan tidak bisa dihindari.
Pada kenyataannya sering dijumpai arena politik kantor serupa dengan politik diluaran sana. Mungkin sudah kodrat, politik adalah selalu soal kekuasaan dan kepentingan. Pun demikian dengan politik kantor, orang-orang yang terlibat aktif didalamnya merupakan perwujudan dari upaya untuk mendapat kekuasan, pengaruh, eksistensi, dan lain sebagainya. Tidak heran, dalam sebuah organisasi perusahaan ditemukan klan-klan atau kelompok pengaruh yang berusaha menggalang kekuatan guna mengamankan tujuan bersama maupun demi kepentingan pribadi. Para profesional seringkali demi karir akan siap berteduh dibalik nanungan klan atau kelompok yang dianggap kuat. Disinilah kadang loyalitas didapatkan dari mereka ketika sistem dalam sebuah perusahaan gagal menarik orang menjadi loyalis.
Sementara itu, perusahaan pun juga masih harus berkompetisi dengan perusahaan lain untuk memenangkan tujuan yang sudah ditetapkan. Bagi perusahaan B to C (business to costumer) pemasaran produk, omzet, ROI adalah hal yang sangat penting. Sedangkan bagi perusahaan B to B (business to to business) produk, servis, image merupakan beberapa hal yang harus diutamakan. Belum lagi jika perusahaan sudah terjun ke lantai bursa saham, keadaan akan lebih kompleks lagi karena berhubungan dengan pemegang saham yang dimiliki publik.  
Kompetisi, persaingan, perlombaan adalah beberapa kata yang tak serupa namun dapat bermakna sama. Setiap denyut kehidupan kita selalu dipenuhi oleh kenyataan itu. Kita hanya bisa terbebas dari belenggu itu saat nyawa sudah tidak dikandung badan. Mari berjuang!
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
Ver receta completa...
Siguiente Anterior Inicio
 
Make Share With A Cup Of Coffee Template Copy by Blogger Templates | Schatz |MASTER SEO |FREE BLOG TEMPLATES