“Sebelum kita lahir di dunia ini pun, kita sudah berkompetisi
dengan ribuan sel sperma lain untuk menjadi seperti sekarang ini.”
Itulah salah satu ungkapan yang disampaikan oleh Debora Amelia
Santoso, Vice President of Corporate Communications Bank BNI saat berdiskusi
ringan pada sebuah sharing moment di Perpustkaan Departemen Pendidikan Nasional
beberapa waktu lalu. Kompetisi merupakan sebuah hal yang menjadi kodrat
keberadaan mahluk hidup, bahkan sebelum mahluk hidup itu terlahir di bumi ini.
Bagaimana tidak, kita terlahir dengan mengalahkan sel sperma lain guna membuahi
sel telur. So, we are the champion.
Hampir semua lini kehidupan kita dipenuhi dengan kompetisi, baik
yang kita rasakan secara implisit maupun ekspilisit. Saat kita masih kecil
dengan beberapa saudara kandung, kita selalu berebut perhatian atau prioritas
orangtua. Entah sadar atau tidak, hal itu terjadi alamiah. Kita ingin mendapat
porsi perhatian lebih dibanding saudara kandung lain, kita ingin keinginan kita
selalu mendapat persetujuan orang tua.
Beranjak masa sekolah, dimana kita berkompetisi dengan rekan
sekelas untuk menjadi yang terbaik. Kalaupun tidak menjadi yang terbaik,
setidaknya kita selalu berusaha untuk tidak menjadi yang terburuk di kelas.
Kita pasti tidak mau dikenang sebagai orang terbodoh yang selalu mendapat
peringkat akhir saat penerimaan nilai hasil belajar mengajar karena hal itu
berpotensi besar menjadikan kita tinggal kelas. Setelah lulus sekolah dan kita
diharuskan untuk meneruskan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, kita pun
berusaha mendapatkan sekolah terbaik. Disitupun terjadi kompetisi perebutan
kursi pada sekolah pilihan. Pertarungan dimulai dengan mempertaruhkan nilai
yang di dapat di sekolah sebelumnya, hingga ujian masuk yang dihelat oleh
sekolah tujuan.
Masuk dunia remaja saat kita sudah mengenal cinta, ternyata
kompetisi tak kunjung sirna. Bahkan mungkin lebih kompleks dari apa yang sudah
kita rasakan sebelumnya. Saat kita menginginkan seseorang spesial menjadi pacar
atau pasangan kita, seringkali kita harus berkompetisi guna mendapatkannya.
Beranekaragam cara dan strategi digunakan guna menaklukkan hati lawan jenis
yang menjadi incaran. Dari seseorang yang sebelumnya kurang memperhatikan
penampilan, kita pun tiba-tiba termotivasi untuk menata diri agar nampak lebih
berseri .
Lulus dari perguruan tinggi, keadaan mengharuskan kita guna
mencari pekerjaan. Kita berlomba-lomba dan bersaing dengan ribuan lulusan baru
lain guna mendapatkannya. Data BPS awal tahun 2012 menunjukkan bahwa angka
pengangguran untuk level lulusan perguruan tinggi 10,3 juta jiwa. Hal itu
menggambarkan bahwa persaingan guna mendapat pekerjaan bagi lulusan perguruan
tinggi juga cukup sengit. Coba tengok ketika ada bursa kerja atau job fair
digelar, dipastikan pengunjung berjejalan memenuhi lokasi even. Pun demikian
jika sebagian dari kita memilih untuk berwiraswasta. Tantangan persaingan dan
kompetisi itu pun tidak bisa dihindari.
Sebuah pepatah mengungkapkan bahwa “succes is journey, not
destination”. Mendapat pekerjaan atau berhasil memulai usaha (wiraswasta)
ternyata belum menjadikan kehidupan kita tenang. Lagi-lagi kompetisi terjadi
dengan wajah yang berbeda-beda untuk setiap pelakunya. Bagaimana kita bisa
bekerja lebih baik dan berprestasi, bagaimana departemen atau bagian dimana
kita bekerja harus menjadi tauladan bagi bagian lain, bagaimana kita
berkontribusi lebih untuk perkembangan perusahaan adalah beberapa hal yang
melandasi persaingan atau kompetisi dalam dunia kerja. Hal itu merupakan sebuah
keadaan yang positif bagi perkembangan dan pertumbuhan sebuah perusahaan. Namun
akan menjadi bumerang jika hal itu terjadi sporadis dan melibatkan kepentingan
ego masing-masing pihak yang berkompetisi demi kepentingan pribadi.
Mungkin sebagian dari kita sudah familiar dengan istilah Office Politic atau Politik Kantor.
Djajendra, seorang Corporate Motivator menjelaskan bahwa politik kantor adalah
bagian dari dari interaksi manusia yang diperlukan agar perusahaan dapat
berjalan sesuai dengan strategi yang diinginkan. Sebuah definisi normatif yang
menggambarkan politik kantor adalah hal yang wajar dan tidak bisa dihindari.
Pada kenyataannya sering dijumpai arena politik kantor serupa
dengan politik diluaran sana. Mungkin sudah kodrat, politik adalah selalu soal
kekuasaan dan kepentingan. Pun demikian dengan politik kantor, orang-orang yang
terlibat aktif didalamnya merupakan perwujudan dari upaya untuk mendapat
kekuasan, pengaruh, eksistensi, dan lain sebagainya. Tidak heran, dalam sebuah
organisasi perusahaan ditemukan klan-klan atau kelompok pengaruh yang berusaha
menggalang kekuatan guna mengamankan tujuan bersama maupun demi kepentingan
pribadi. Para profesional seringkali demi karir akan siap berteduh dibalik
nanungan klan atau kelompok yang dianggap kuat. Disinilah kadang loyalitas
didapatkan dari mereka ketika sistem dalam sebuah perusahaan gagal menarik
orang menjadi loyalis.
Sementara itu, perusahaan pun juga masih harus berkompetisi dengan
perusahaan lain untuk memenangkan tujuan yang sudah ditetapkan. Bagi perusahaan
B to C (business to costumer)
pemasaran produk, omzet, ROI adalah hal yang sangat penting. Sedangkan bagi
perusahaan B to B (business to to
business) produk, servis, image
merupakan beberapa hal yang harus diutamakan. Belum lagi jika perusahaan sudah
terjun ke lantai bursa saham, keadaan akan lebih kompleks lagi karena
berhubungan dengan pemegang saham yang dimiliki publik.
Kompetisi, persaingan, perlombaan adalah beberapa
kata yang tak serupa namun dapat bermakna sama. Setiap denyut kehidupan kita
selalu dipenuhi oleh kenyataan itu. Kita hanya bisa terbebas dari belenggu itu
saat nyawa sudah tidak dikandung badan. Mari berjuang!
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO